Penulis : Rizal
Asap hitam membubung dari gedung dewan yang terbakar. Jalan yang seharusnya menjadi ruang rakyat menyampaikan aspirasi, berubah menjadi panggung api dan kepanikan. Dari Jakarta hingga Makassar, Solo, dan Mataram, wajah demokrasi kembali tercoreng oleh kerusuhan.
Padahal, bara awalnya lahir dari jeritan rakyat. Keputusan wakil rakyat untuk tetap menikmati tunjangan besar di tengah krisis memicu kekecewaan mendalam. Situasi semakin memanas ketika dalam aksi, seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, meninggal dunia akibat benturan dengan aparat. Tragedi ini menambah luka, sekaligus menyulut amarah ribuan orang untuk turun ke jalan, mengibarkan spanduk, dan menyuarakan tuntutan.
Namun, seperti babak lama yang terus berulang, idealisme itu kerap terbakar lebih cepat dari ban yang disulut bensin. Yel-yel perjuangan berganti dengan teriakan panik. Batu melayang, molotov dilempar, gas air mata dibalas dengan amukan. Dalam hitungan jam, narasi rakyat terkubur di balik kerusuhan.
Keesokan harinya, perbincangan publik tak lagi tentang Affan atau keadilan yang diperjuangkan. Yang ramai dibicarakan hanyalah halte yang hangus, pos polisi yang rusak, dan gedung dewan yang rata dengan arang. Aspirasi tenggelam, simpati publik berubah menjadi antipati.
Beginilah lingkaran setan demonstrasi di Indonesia: tuntutan lahir dari luka rakyat, tetapi mati di tangan rakyat sendiri. Demonstrasi yang semestinya menjadi simbol keberanian berubah menjadi ajang perusakan. Demokrasi kehilangan wajahnya, yang tampak hanya amuk tanpa arah.
Aparat berdalih anarki harus ditindak. Demonstran menuding aparat represif. Putaran tuduh-menuduh ini terus berulang, melahirkan tragedi baru dari waktu ke waktu. Nyawa menjadi taruhan, legitimasi tuntutan tergerus, dan publik semakin apatis.
Pertanyaan yang menyesak: sampai kapan lingkaran ini berputar? Sampai berapa banyak gedung lagi yang dibakar? Sampai berapa banyak nyawa lagi yang hilang akibat amarah yang tak terkendali?
Demonstrasi harus kembali ke marwahnya: lantang, damai, dan bermartabat. Tanpa itu, jalanan hanya akan melahirkan luka baru. Demokrasi tidak pernah dimaksudkan untuk membakar kota atau merusak rumah sendiri.
Selama kita tidak berani memutus lingkaran setan ini, rakyat hanya akan terus menonton reruntuhan: berteriak demi keadilan, tetapi merusak panggung tempat suara itu seharusnya bergema.
Menjadi perenungan bersama, untuk berkolaborasi menata negeri ini menjadi negeri yang saling mengasihi, melindungi dan mengayomi rakyatnya, demi tujuan besar, yakni tercapainya kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyatnya.